dennicandra.com, Pada suatu kesempatan jalan-jalan sama keluarga, ketika istirahat dan makan di sebuah restoran mata saya langsung tertuju kepada salah satu pengunjung yang ada di situ. Bukan karena saya kenal atau merasa familiar dengan pengunjung tersebut, tetapi perhatian saya tertuju pada pakaian yang dia kenakan. Kami sama-sama memakai baju kaos dengan warna dan motif yang persis sama, tanpa ada beda sedikit pun. Yang berbeda hanya orang yang memakainya.
Istri dan anak saya
saling melampar senyum dan tertawa kecil melihat kejadian tersebut, tetapi bagi
saya pribadi itu tidak menjadi masalah. Kami tetap melanjutkan makan, dan
ketika membayar di kasir saya berpapasan dengan orang tersebut. Sama-sama kaget
dan beberapa saat kemudian kami saling tertawa, seakan-akan seperti sahabat
karib yang baru bertemu setelah terpisah sekian tahun lamanya. Orang-orang pun
kaget dan melihat ke arah kami berdua dengan penuh keheranan.
Dilain waktu ketika
masih bekerja di Jakarta, saya beserta rombongan sekitar 5 orang dari kantor
berencana untuk pergi makan saat istirahat siang. Pilihan kami jatuh pada
sebuah foodcourt di salah satu pusat perbelanjaan yang berada tidak jauh dari
kantor. Sambil bercanda dan melempar guyonan kami melingkar di sebuah meja menunggu
pesanan makanan datang.
Tidak perlu waktu lama,
sontak wajah salah satu rekan wanita saya mendadak seperti orang ketakutan.
PD-nya langsung drop dan raut mukanya pucat seperti baru melihat pemandangan
yang menyeramkan dalam sebuah film horor. Tanpa banyak kata dia langsung
mengajak kami beranjak dari tempat tersebut dan mencari alternatif tempat lain
untuk makan siang. Setelah di usut, ternyata yang menjadi masalah adalah dia
melihat ada salah satu pengunjung yang juga lagi makan di tempat tersebut mengenakan
baju yang persis sama dengan yang dia kenakan. Karena tidak ingin malu dan
dilihat banyak orang makanya dia beranjak pergi dan tidak jadi makan di tempat
tersebut. Hehehe ,,, itulah uniknya wanita.
Ketika kembali ke kantor
langsung saya bilang ke dia, “Kamu itu salah dalam memberikan arti pada
pikiranmu. Kamu memberikan arti kalau baju sama itu suatu hal yang memalukan.
Coba kalau kamu mengartikannya dengan sebuah kata kompak, maka justru akhirnya
akan membahagiakan. Dan kamu tidak perlu repot menghindar, bahkan kamu bisa
kenalan dan menjalin persahabatan dengan orang tersebut.”
Sebenarnya kalau kita
perhatikan dengan seksama, semua hal yang berhubungan dengan “mood” itu sangat
bergantung pada cara bagaimana kita memberikan arti pada sebuah kejadian.
Kesalahan dalam memberikan artinya juga akan salah dalam menempatkan emosi.
Sakit hati, dendam serta berbagai macam trauma yang kita alami semuanya itu
berawal dari kesalahan kita mengartikan suatu kejadian.
Bagaimana kita
menilai, melihat dan menyikapi setiap peristiwa itulah yang menentukan apakah
itu membuat bahagia, senang, sedih, takut atau kecewa. Karena peristiwa atau pun
kejadian sejatinya adalah bersifat netral, kita sendirilah yang memberi makna pada setiap kejadian
itu dalam perasaan kita. Kita yang membuat sebuah kejadian
itu bersifat tidak netral lagi, semua itu tergantung bagaimana pikiran kita
dalam merespon dan memberikan label terhadap kejadian tersebut. Bisa saja dalam
menghadapi kejadian yang sama persis, respon dan label yang diberikan oleh
seseorang berbeda dengan orang yang lainnya.
Suatu
peristiwa akan menjadi baik kalau itu sesuai dengan penilaian yang ada dalam
pikiran kita dan kita menerima itu sebagai sebuah kejadian yang baik. Tetapi
suatu peristiwa akan menjadi buruk kalau itu tidak sesuai dengan penilaian yang
ada dalam pikiran kita dan kita menerimanya sebagai sebuah keburukan.
Kalau
kita sudah mengetahui bahwa pikiran adalah inti dari semua penilaian terhadap
suatu kejadian, maka sudah saatnya kita mencoba untuk menata dan mengendalikan
pikiran kita ketika merespon suatu kejadian. Jika kita berpikir bahwa dunia ini
suram dan menakutkan maka itulah yang akan mengiringi langkah kita selamanya.
Tapi jika kita berpikir bahwa dunia ini indah maka akan indahlah semua yang kita
rasakan dan lalui dalam hidup ini.
Ingin
berbahagia atau larut dalam kesedihan itu semua adalah soal pilihan. Tindakan
kita bagaikan sebuah cermin tentang bagaimana kita melihat dunia, dan dunia ini
tidak lebih luas daripada pikiran kita tentang diri kita sendiri. Dunia ini
hanya akan memantulkan apa yang ingin kita lihat, menggemakan apa yang ingin
kita dengar. Kalau kita takut untuk menghadapi dunia ini maka sama saja artinya
kita takut terhadap diri kita sendiri.
Pada
akhirnya pilihan itu ada di tangan kita sendiri “mau memaknai seperti apa
setiap peristiwa atau kejadian yang setiap saat hadir di depan kita”
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian BERNAS Yogyakarta edisi Jumat, 23 Oktober 2015 dengan Judul "Bijak Dalam Memberikan Makna")
No Comments